Terbentuknya Jaringan
Keilmuan di Nusantara Pada bagian ini kamu akan memahami hubungan antara Istana
sebagai pusat kekuasaan dan pendidikan. Perkembangan lembaga pendidikan dan
pengajaran di masjid-masjid kesultanan sangat ditentukan oleh dukungan
penguasa. Sultan bukan saja mendanai kegiatan-kegiatan masjid, tetapi juga
mendatangkan para ulama, baik dari mancanegara, terutama Timur Tengah, maupun
dari kalangan ulama pribumi sendiri. Para ulama yang kemudian juga difungsikan
sebagai pejabat-pejabat negara, bukan saja memberikan pengajaran agama Islam di
masjid-masjid negara, tetapi juga di istana sultan. Para sultan dan pejabat
tinggi rupanya juga menimba ilmu dari para ulama. Seperti halnya yang terjadi
di Kerajaan Islam Samudera Pasai dan Kerajaan Malaka.
Ketika Kerajaan Samudera Pasai mengalami kemunduran dalam
bidang politik, tradisi keilmuannya tetap berlanjut. Samudera Pasai terus
berfungsi sebagai pusat studi Islam di Nusantara. Namun, ketika Kerajaan Malaka
telah masuk Islam, pusat studi keislaman tidak lagi hanya dipegang oleh Samudera
Pasai. Malaka kemudian juga berkembang sebagai pusat studi Islam di Asia
Tenggara, bahkan mungkin dapat dikatakan berhasil menyainginya. Kemajuan ekonomi
Kerajaan Malaka telah mengundang banyak ulama dari mancanegara untuk
berpartisipasi dengan lebih intensif dalam proses pendidikan dan pembelajaran
agama Islam.
Kerajaan Malaka dengan giat melaksanakan pengajian dan pendidikan
Islam. Hal itu terbukti dengan berhasilnya kerajaan ini dalam waktu singkat
melakukan perubahan sikap dan konsepsi masyarakat terhadap agama, kebudayaan
dan ilmu pengetahuan. Proses pendidikan dan pengakaran itu sebagian berlangsung
di kerajaan. Perpustakaan sudah tersedia di istana dan difungsikan sebagai
pusat penyalinan kitab-kitab dan penerjemahannya dari bahasa Arab ke bahasa
Melayu. Karena perhatian kerajaan yang tinggi terhadap pendidikan Islam, banyak
ulama dari mancanegara yang datang ke Malaka, seperti dari Afghanistan,
Malabar, Hindustan, dan terutama dari Arab. Banyaknya para ulama besar dari
berbagai negara yang mengajar di Malaka telah menarik para penuntut ilmu dari
berbagai kerajaan Islam di Asia Tenggara untuk datang. Dari Jawa misalnya, Sunan
Bonang dan Sunan Giri pernah menuntut ilmu ke Malaka dan setelah menyelesaikan
pendidikannya mereka kembali ke Jawa dan mendirikan lembaga pendidikan Islam di
tempat masing-masing.
Hubungan antar kerajaan Islam, misalnya Samudera Pasai, Malaka,
dan Aceh Darussalam, sangat bermakna dalam bidang budaya dan keagamaan. Ketiganya
tersohor dengan sebutan Serambi Mekkah dan menjadi pusat pendidikan dan
pengajaran agama Islam di Indonesia. Untuk mengintensifkan proses Islamisasi, para
ulama telah mengarang, menyadur, dan menerjemahkan karyakarya keilmuan Islam.
Sultan Iskandar Muda adalah raja yang sangat memperhatikan pengembangan pendidikan
dan pengajaran agama Islam. Ia mendirikan Masjid Raya Baiturrahman, dan
memanggil Hamzah al Fanzuri dan Syamsuddin as Sumatrani sebagai penasihat. Syekh
Yusuf al Makassari ulama dari Kesultanan Goa di Sulawesi Selatan pernah
menuntut ilmu di Aceh Darussalam sebelum melanjutkan ke Mekkah. Melalui
pengajaran Abdur Rauf as Singkili telah muncul ulama Minangkabau Syekh
Burhanuddin Ulakan yang terkenal sebagai pelopor pendidikan Islam di
Minangkabau dan Syekh Abdul Muhyi al Garuti yang berjasa menyebarkan pendidikan
Islam di Jawa Barat. Karya-karya susastra dan keagamaan dengan segera berkembang
di kerajaan-kerajaan Islam. Kerajaan-kerajaan Islam itu telah merintis
terwujudnya idiom kultural yang sama, yaitu Islam. Hal itu menjadi pendorong terjadinya
interaksi budaya yang makin erat.
Di Banten, fungsi istana sebagai lembaga pendidikan juga sangat
mencolok. Bahkan pada abad ke-17, Banten sudah menjadi pusat ilmu pengetahuan
Islam di pulau Jawa. Para ulama dari berbagai negara menjadikan Banten sebagai
tempat untuk belajar. Martin van Bruinessen menyatakan, “Pendidikan agama cukup
menonjol ketika Belanda datang untuk pertama kalinya pada 1596 dan menyaksikan
bahwa orang-orang Banten memiliki guru-guru
yang berasal dari Mekkah”.
Di Palembang, istana (keraton) juga difungsikan sebagai
pusat sastra dan ilmu agama. Banyak Sultan Palembang yang mendorong perkembangan
intelektual keagamaan, seperti Sultan Ahmad Najamuddin I (1757-1774) dan Sultan
Muhammad Baha’uddin (1774-1804). Pada masa pemerintahan mereka, telah muncul banyak
ilmuwan asal Palembang yang produktif melahirkan karyakarya ilmiah keagamaan:
ilmu tauhid, ilmu kalam, tasawuf, tarekat, tarikh, dan al-Qur’an. Perhatian
sultan terhadap perkembangan ilmu pengetahuan Islam tercermin pada keberadaan
perpustakaan keraton yang memiliki koleksi yang cukup lengkap dan rapi.
Berkembangnya pendidikan dan pengajaran Islam, telah berhasil
menyatukan wilayah Nusantara yang sangat luas. Dua hal yang mempercepat proses
itu yaitu penggunaan aksara Arab dan bahasa Melayu sebagai bahasa pemersatu
(lingua franca). Semua ilmu yang diberikan di lembaga pendidikan Islam di
Nusantara ditulis dalam aksara Arab, baik dalam bahasa Arab maupun dalam bahasa
Melayu atau Jawa. Aksara Arab itu disebut dengan banyak sebutan, seperti huruf
Jawi (di Melayu) dan huruf pegon (di Jawa). Luasnya penguasaan aksara Arab ke
Nusantara telah membuat para pengunjung asal Eropa ke Asia Tenggara terpukau
oleh tingginya tingkat kemampuan baca tulis yang mereka jumpai.
Pada 1579, orang Spanyol merampas sebuah kapal kecil dari Brunei.
Orang Spanyol itu menguji apakah orang-orang Melayu yang menyatakan diri sebagai
budak-budak sultan itu dapat menulis. Dua dari tujuh orang itu dapat (menulis),
dan semuanya mampu membaca surat kabar berbahasa Melayu sendiri-sendiri.
Berkembangnya pendidikan Islam di istana-istana raja seolah menjadi
pendorong munculnya pendidikan dan pengajaran di masyarakat. Setelah terbentuknya
berbagai ulama hasil didikan dari istana-istana, maka murid-muridnya melakukan
pendidikan ke tingkatan yang lebih luas, dengan dilangsungkannya pendidikan di
rumah-rumah ulama untuk masyarakat umum, khususnya sebagai tempat pendidikan
dasar, layaknya kuttâb di wilayah Arab.
Sebagaimana kuttâb (lembaga pendidikan dasar di Arab sejak
masa Rasulullah) yang biasa mengambil tempat di rumah-rumah ulama, di Nusantara
pendidikan dasar berlangsung di rumah-rumah guru. Pelajaran yang diberikan
terutama membaca al-Qur’an, menghafal ayat-ayat pendek, dan belajar bacaan
salat lima waktu. Dan ini diperkirakan sama tuanya dengan kehadiran Islam di
wilayah ini. Di Nusantara, masjid-masjid yang berada di permukiman penduduk
yang dikelola secara swadaya oleh masyarakat
menjalankan fungsi pendidikan dan pengajaran untuk
masyarakat umum. Di sinilah terjadi demokratisasi pendidikan dalam sejarah Islam.
Demikianlah yang terjadi di wilayah-wilayah Islam di Nusantara, seperti Malaka
dan kemudian Johor, Aceh Darussalam, Minangkabau, Palembang, Demak, Cirebon,
Banten, Pajang, Mataram, Gowa-Tallo, Bone, Ternate, Tidore, Banjar, Papua dan
lain sebagainya. Bahkan mungkin karena memiliki tingkat otonomi dan kebebasan
tertentu, di masjid proses pendidikan dan pengajaran mengalami perkembangan.
Tidak jarang di antaranya berkembang menjadi sebuah lembaga pendidikan yang
cukup kompleks, seperti meunasah di Aceh, surau di Minangkabau, langgar di
Kalimantan dan pesantren di Jawa.
Untuk memperdalam tentang jaringan keilmuan ini kamu dapat membaca buku Taufik Abdullah dan Adrian B. Lapian, Indonesia dalam Arus Sejarah, jilid III dan Sartono Kartodirdjo. Pengantar Sejarah Indonesia Baru 1500-1900 dari Emporium sampai Imperium
Antara Akulturasi dan Perkembangan Budaya Islam Coba perhatikan secara cermat gambar menara Masjid Kudus Yang ada dibawah . Bentuknya unik seperti candi langgam Jawa Timur. Di bagian atas ada bedug yang dibunyikan seiring datangnya waktu salat. Itulah bentuk nyata akulturasi dalam kebudayaan di Indonesia.
Di Nusantara banyak terdapat bangunan yang akulturatif dan budaya non fisik yang merupakan perpaduan antara budaya Islam dengan budaya lain. Untuk lebih menghayati perkembangan hasil budaya ini, kamu dapat mengkaji uraian berikut. Berkembangnya kebudayaan Islam di Kepulauan Indonesia telah menambah khasanah budaya nasional Indonesia, serta ikut memberikan dan menentukan corak kebudayaan bangsa Indonesia. Akan tetapi karena kebudayaan yang berkembang di Indonesia sudah begitu kuat di lingkungan masyarakat maka berkembangnya kebudayaan Islam tidak menggantikan atau memusnahkan kebudayaan yang sudah ada. Dengan demikian terjadi akulturasi antara kebudayaan Islam dengan kebudayaan yang sudah ada. Hasil proses akulturasi antara kebudayaan pra-Islam dengan ketika Islam masuk tidak hanya berbentuk fisik kebendaan seperti seni bangunan, seni ukir atau pahat, dan karya sastra tetapi juga menyangkut pola hidup dan kebudayaan non fisik lainnya. Beberapa contoh bentuk akulturasi akan ditunjukkan pada paparan berikut.
Akulturasi Islam
dalam Bidang Seni Bangunan Seni dan arsitektur bangunan Islam di Indonesia
sangat unik, menarik dan akulturatif. Seni bangunan yang menonjol di zaman perkembangan
Islam ini terutama masjid dan menaranya serta makam.
a. Masjid dan Menara
Dalam seni bangunan di zaman perkembangan Islam, nampak ada
perpaduan antara unsur Islam dengan kebudayaan praIslam yang telah ada. Seni
bangunan Islam yang menonjol adalah masjid. Fungsi utama dari masjid,adalah
tempat beribadah bagi orang Islam. Masjid atau mesjid dalam bahasa Arab mungkin
berasal dari bahasa Aramik atau bentuk bebas dari perkataan sajada yang artinya
merebahkan diri untuk bersujud. Dalam bahasa Ethiopia terdapat perkataan mesgad
yang dapat diartikan dengan kuil atau gereja. Di antara dua pengertian tersebut
yang mungkin primair ialah tempat orang merebahkan diri untuk bersujud ketika
salat atau sembahyang.
Pengertian tersebut dapat dikaitkan dengan salah satu hadis
sahih al-Bukhârî yang menyatakan bahwa “Bumi ini dijadikan bagiku untuk masjid
(tempat salat) dan alat pensucian (buat tayamum) dan di tempat mana saja seseorang
dari umatku mendapat waktu salat, maka salatlah di situ.” Jika pengertian tersebut
dapat dibenarkan dapat pula diambil asumsi bahwa ternyata agama Islam telah memberikan
pengertian perkataan masjid atau mesjid itubersifat universal.
Dengan sifat universal itu, maka orang-orang Muslim diberikan
keleluasaan untuk melakukan ibadah salat di tempat manapun asalkan bersih.
Karena itu tidak mengherankan apabila ada orang Muslim yang melakukan salat di
atas batu di sebuah sungai, di atas batu di tengah sawah atau ladang, di tepi
jalan, di lapangan rumput, di atas gubug penjaga sawah atau ranggon (Jawa,
Sunda) di atas bangunan gedung dan sebagainya. Meskipun pengertian hadist
tersebut memberikan keleluasaan bagi setiap Muslim untuk salat, namun dirasakan
perlunya mendirikan bangunan khusus yang disebut masjid sebagai tempat
peribadatan umat Islam.
Masjid sebenarnya mempunyai fungsi yang luas yaitu sebagai pusat
untuk menyelenggarakan keagamaan Islam, pusat untuk mempraktikkan ajaran-ajaran
persamaan hak dan persahabatan di kalangan umat Islam. Demikian pula masjid dapat
dianggap sebagai pusat kebudayaan bagi orang-orang Muslim.
Di Indonesia sebutan masjid serta bangunan tempat peribadatan
lainnya ada bermacam-macam sesuai dan tergantung kepada masyarakat dan bahasa
setempat. Sebutan masjid, dalam bahasa Jawa lazim disebut mesjid, dalam bahasa
Sunda disebut masigit, dalam bahasa Aceh disebut meuseugit, dalam bahasa
Makassar dan Bugis disebut masigi.
Bangunan masjid-masjid kuno di Indonesia memiliki ciri-ciri sebagai
berikut:
- Atapnya berupa atap tumpang, yaitu atap yang bersusun, semakin ke atas semakin kecil dan tingkat yang paling atas berbentuk limas. Jumlah tumpang biasanya selalu gasal/ ganjil, ada yang tiga, ada juga yang lima. Ada pula yang tumpangnya dua, tetapi yang ini dinamakan tumpang satu, jadi angka gasal juga. Atap yang demikian disebut meru. Atap masjid biasanya masih diberi lagi sebuah kemuncak/ puncak yang dinamakan mustaka.
- Tidak ada menara yang berfungsi sebagai tempat mengumandangkan adzan. Berbeda dengan masjidmasjid di luar Indonesia yang umumnya terdapat menara. Pada masjid-masjid kuno di Indonesia untuk menandai datangnya waktu salat dengan memukul bedhug atau kenthongan. Yang istimewa dari Masjid Kudus dan Masjid Banten adalah menaranya yang bentuknya begitu unik. bentuk menara Masjid Kudus merupakan sebuah candi langgam Jawa Timur yang telah diubah dan disesuaikan penggunaannya dengan diberi atap tumpang. Pada Masjid Banten, menara tambahannya dibuat menyerupai mercusuar.
- Masjid umumnya didirikan di ibu kota atau dekat istana kerajaan. Ada juga masjid-masjid yang dipandang keramat yang dibangun di atas bukit atau dekat makam. Masjidmasjid di zaman Wali Sanga umumnya berdekatan dengan makam.
b. Makam
Bangunan makam muncul saat perkembangan Islam pada periode
perkembangan kerajaan Islam. Bahkan kalau yang meninggal itu orang terhormat
wali atau raja, bangunan makamnya nampak begitu megah bahkan ada bangunan semacam
rumah yang disebut cungkup. Kemudian kalau kita perhatikan letak makam
orang-orang yang dianggap suci biasanya berada di dekat masjid di dataran
rendah dan ada pula di dataran tinggi atau di atas bukit.
Makam-makam yang lokasinya di dataran dekat masjid agung,
bekas kota pusat kesultanan antara lain makam sultansultan Demak di samping Masjid
Agung Demak, makam rajaraja Mataram-Islam Kota Gede (D.I. Yogyakarta), makam sultan-sultan
Palembang, makam sultan-sultan di daerah Nanggroe Aceh, yaitu kompleks makam di
Samudera Pasai, makam sultan-sultan Aceh di Kandang XII, Gunongan dan di tempat
lainnya di Nanggroe Aceh, makam sultan-sultan Siak- Indrapura (Riau), makam
sultan-sultan Palembang, makam sultan-sultan Banjar di Kuin (Banjarmasin),
makam sultansultan di Martapura (Kalimantan Selatan), makam sultansultan Kutai
(Kalimantan Timur), makam sultan Ternate di Ternate, makam sultan-sultan Goa di
Tamalate, dan kompleks makam raja-raja di Jeneponto dan kompleks makam di WatanG
Lamuru (Sulawesi Selatan), makam-makam di berbagai daerah lainnya di Sulawesi
Selatan, serta kompleks makam Selaparang di Nusa Tenggara.
Di beberapa tempat terdapat makam-makam yang meski tokoh
yang dikubur termasuk wali atau syaikh namun, penempatannya berada di daerah
dataran antara lain, yaitu makam Sunan Bonang di Tuban, makam Sunan Derajat (Lamongan),
makam Sunan Kalijaga di Kadilangu (Demak), makam Sunan Kudus di Kudus, makam Maulana
Malik Ibrahim dan makam Leran di Gresik (Jawa Timur), makam
Datuk Ri Bandang di Takalar (Sulawesi Selatan), makam Syaikh
Burhanuddin (Pariaman), makam Syaikh Kuala atau Nuruddin ar-Raniri (Aceh) dan
masih banyak para dai lainnya di tanah air yang dimakamkan di dataran. Makam-makam
yang terletak di tempat-tempat tinggi atau di atas bukit-bukit sebagaimana
telah dikatakan di atas, masih menunjukkan kesinambungan tradisi yang mengandung
unsur kepercayaan pada ruh-ruh nenek moyang yang sebenarnya sudah dikenal dalam
pengejawantahan pendirian punden-punden berundak Megalitik. Tradisi tersebut dilanjutkan
pada masa kebudayaan Indonesia Hindu-Buddha yang diwujudkan dalam bentuk
bangunan-bangunan yang disebut candi. Antara lain Candi Dieng yang
berketinggian 2.000 meter di atas permukaan laut, Candi Gedongsanga, Candi
Borobudur. Percandian Prambanan, Candi Ceto dan Candi Sukuh di daerah
Surakarta, Percandian Gunung Penanggungan dan lainnya. Menarik perhatian kita
bahwa makam Sultan Iskandar Tsani dimakamkan di Aceh dalam sebuah bangunan
berbentuk gunungan yang dikenal pula unsur meru.
Setelah kebudayaan Indonesia Hindu-Buddha mengalami
keruntuhan dan tidak lagi ada pendirian bangunan percandian, unsur seni
bangunan keagamaan masih diteruskan pada masa tumbuh dan berkembangnya Islam di
Indonesia melalui proses akulturasi. Makam-makam yang lokasinya di atas bukit,
makam yang paling atas adalah yang dianggap paling dihormati misalnya Sunan
Gunung Jati atau Syarif Hidayatullah di Gunung Sembung, di bagian teratas kompleks
pemakaman Imogiri ialah makam Sultan Agung Hanyokrokusumo. Kompleks makam yang
mengambil tempat datar misalnya di Kota Gede, orang yang paling dihormati ditempatkan
di bagian tengah. Makam walisongo dan sultansultan pada umumnya ditempatkan
dalam bangunan yang disebut cungkup yang masih bergaya kuno dan juga dalam bangunan
yang sudah diperbaharui. Cungkup-cungkup yang termasuk kuno antara lain cungkup
makam Sunan Giri, Sunan Derajat, dan Sunan Gunung Jati. Demikian juga cungkup
makam sultan-sultan yang dapat dikatakan masih menunjukkan kekunoannya walaupun
sudah mengalami perbaikan contohnya cungkup makam sultan-sultan Demak, Banten,
dan Ratu Kalinyamat (Jepara).
Akulturasi Islam
Dalam Bidang Seni Ukir - Pada masa perkembangan Islam di zaman madya, berkembang
ajaran bahwa seni ukir, patung, dan melukis makhluk hidup, apalagi manusia
secara nyata, tidak diperbolehkan. Di Indonesia ajaran tersebut ditaati. Hal
ini menyebabkan seni patung di Indonesia pada zaman madya, kurang berkembang.
Padahal pada masa sebelumnya seni patung sangat berkembang, baik patung-patung
bentuk manusia maupun binatang. Akan tetapi, sesudah zaman madya, seni patung
berkembang seperti yang dapat kita saksikan sekarang ini.
Walaupun seni patung untuk menggambarkan makhluk hidup
secara nyata tidak diperbolehkan. Akan tetapi, seni pahat atau seni ukir terus
berkembang. Para seniman tidak ragu-ragu mengembangkan seni hias dan seni ukir
dengan motif daun-daunan dan bunga-bungaan seperti yang telah dikembangkan
sebelumnya. Kemudian juga ditambah seni hias dengan huruf Arab (kaligrafi). Bahkan
muncul kreasi baru, yaitu kalau terpaksa ingin melukiskan makluk hidup, akan
disamar dengan berbagai hiasan, sehingga tidak lagi jelas-jelas berwujud
binatang atau manusia.
Banyak sekali bangunan-bangunan Islam yang dihiasi dengan berbagai
motif ukir-ukiran. Misalnya, ukir-ukiran pada pintu atau tiang pada bangunan
keraton ataupun masjid, pada gapura atau pintu gerbang. Dikembangkan juga seni
hias atau seni ukir dengan bentuk tulisan Arab yang dicampur dengan ragam hias
yang lain. Bahkan ada seni kaligrafi yang membentuk orang, binatang, atau wayang
Akulturasi Islam
Dalam Bidang Aksara dan Seni Sastra Tersebarnya Islam di Indonesia membawa
pengaruh dalam bidang aksara atau tulisan. Abjad atau huruf-huruf Arab sebagai abjad
yang digunakan untuk menulis bahasa Arab mulai digunakan di Indonesia. Bahkan
huruf Arab digunakan di bidang seni ukir. Berkaitan dengan itu berkembang seni
kaligrafi. Di samping pengaruh sastra Islam dan Persia, perkembangan sastra di
zaman madya tidak terlepas dari pengaruh unsur sastra sebelumnya. Dengan
demikian terjadilah akulturasi antara sastra Islam dengan sastra yang berkembang
di zaman praIslam. Seni sastra di zaman Islam terutama berkembang di Melayu dan
Jawa. Dilihat dan corak dan isinya, ada beberapa jenis seni sastra seperti berikut.
- Hikayat adalah karya sastra yang berisi cerita sejarah ataupun dongeng. Dalam hikayat banyak ditulis berbagai peristiwa yang menarik, keajaiban, atau hal-hal yang tidak masuk akal. Hikayat ditulis dalam bentuk gancaran (karangan bebas atau prosa). Hikayat-hikayat yang terkenal, misalnya Hikayat Iskandar Zulkarnain, Hikayat Raja-Raja Pasai, Hikayat Khaidir, Hikayat si Miskin, Hikayat 1001 Malam, Hikayat Bayan Budiman, dan Hikayat Amir Hamzah.
- Babad mirip dengan hikayat. Penulisan babad seperti tulisan sejarah, tetapi isinya tidak selalu berdasarkan fakta.Jadi, isinya carapuran antara fakta sejarah, mitos, dan kepercayaan.Di tanah Melayu terkenal dengan sebutan tambo atau salasilah. Contoh babad adalah Babad Tanah Jawi, Babad Cirebon, Babad Mataram, dan Babad Surakarta.
- Syair berasal dari perkataan Arab untuk menamakan karya sastra berupa sajak-sajak yang terdiri atas empat baris setiap baitnya. Contoh syair sangat tua adalah syair yang tertulis pada batu nisan makam putri Pasai di Minye Tujoh.
- Suluk merupakan karya sastra yang berupa kitab-kitab dan isinya menjelaskan soal-soal tasawufnya. Contoh suluk yaitu Suluk Sukarsa, Suluk Wujil, dan Suluk Malang Sumirang
Akulturasi Islam
Dalam Bidang Kesenian Di Indonesia, Islam menghasilkan kesenian bernapas
Islam yang bertujuan untuk menyebarkan ajaran Islam. Kesenian tersebut, misalnya
sebagai berikut.
- Permainan debus, yaitu tarian yang pada puncak acara para penari menusukkan benda tajam ke tubuhnya tanpa meninggalkan luka. Tarian ini diawali dengan pembacaan ayat-ayat dalam Al Quran dan salawat nabi. Tarian ini terdapat di Banten dan Minangkabau.
- Seudati, sebuah bentuk tarian dari Aceh. Seudati berasal dan kata syaidati yang artinya permainan orang-orang besar. Seudati sering disebut saman artinya delapan. Tarian ini aslinya dimainkan oleh delapan orang penari. Para pemain menyanyikan lagu yang isinya antara lain salawat nabi.
- Wayang, termasuk wayang kulit, Pertunjukan wayang sudah berkembang sejak zaman Hindu, akan tetapi, pada zaman Islam terus dikembangkan Kemudian berdasarkan cerita Amir Hamzah dikembangkan pertunjukan wayang golek.
Akulturasi Islam
Dalam Bidang Kalender Menjelang tahun ketiga pemerintahan Khalifah Umar bin
Khattab, beliau berusaha membenahi kalender Islam. Perhitungan tahun yang
dipakai atas dasar peredaran bulan (komariyah). Umar menetapkan tahun 1 H
bertepatan dengan tanggal 14 September 622 M, sehingga sekarang kita mengenal
tahun Hijriyah. Sistem kalender itu juga berpengaruh di Nusantara. Bukti perkembangan
sistem penanggalan (kalender) yang paling nyata adalah sistem kalender yang diciptakan
oleh Sultan Agung. Ia melakukan sedikit perubahan, mengenai nama-nama bulan
pada tahun Saka. Misalnya bulan Muharam diganti dengan Sura dan Ramadan diganti
dengan Pasa. Kalender tersebut dimulai tanggal 1 Muharam tahun 1043 H. Kalender
Sultan Agung dimulai tepat dengan tanggal 1 Sura tahun 1555 Jawa (8 Agustus
1633).
Masih terdapat beberapa bentuk lain dan akulturasi antara kebudayaan
pra-Islam dengan kebudayaan Islam. Misalnya upacara kelahiran perkawinan dan
kematian. Masyarakat Jawa juga mengenal berbagai kegiatan selamatan dengan
bentuk kenduri. Selamatan diadakan pada waktu tertentu. Misalnya, selamatan
atau kenduri pada 10 Muharam untuk memperingati Hasan-Husen (putra Ali bin Abu
Thalib), Maulid Nabi (untuk memperingati kelahiran Nabi Muhammad), Ruwahan
(Nyadran) untuk menghormati para leluhur atau sanak keluarga yang sudah
meninggal
Tidak ada komentar:
Posting Komentar